w3Lc0m3

Senin, 28 April 2008

Kanker Mulut Rahim masih Jadi Momok Kaum Perempuan

Kanker mulut rahim masih menjadi momok yang menakutkan bagi kaum perempuan di Indonesia, karena selain belum ada obatnya, kanker jenis ini masih menjadi pembunuh nomor satu perempuan pengidap kanker tersebut.

"Kanker mulut rahim di Indonesia masih menjadi pembunuh nomor satu di antara kanker lainnya, padahal di Amerika Serikat kasus penyakit ini sudah menurun," kata spesialis kandungan Prof dr Noor Pramono, SpOG, di Semarang, Kamis (20/7).

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang itu mengatakan, pencegahan dini melalui pendektesian yang dilakukan secara berkala bisa mengurangi risiko terkena kanker mulut rahim stadium tinggi.

Kanker mulut rahim hingga sekarang memang belum ada obatnya dan sangat ditakuti kaum perempuan, tapi menurut Pramono, hal ini bisa dihindari dengan menerapkan pola hidup yang bersih dan sehat, misalnya tidak melakukan hubungan seks berganti-ganti pasangan.

Mengingat penyakit ganas ini masih banyak ditemui di kalangan perempuan Indonesia, Noor Pramono dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Panitia Dies Natalis ke-49 Undip Semarang, berniat melakukan pemeriksaan dini kanker mulut rahim pada kaum wanita di Kecamatan Mlonggo, Kabupaten, Jepara pada 22 Juli mendatang.

Hal itu dilakukan sebagai bagian dari Tridarama Perguruan Tinggi, yaitu melakukan pengabdian masyarakat, apalagi selama ini masyarakat Jepara banyak mendukung kegiatan yang dilakukan oleh Undip, katanya.

Kanker mulut rahim paling banyak ditemukan di antara penyakit kanker ginekologik, dan menjadi penyebab kematian utama perempuan penderita kanker di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Pada stadium awal, kanker ini cenderung sulit terdeteksi. Pada tahap prakanker atau displasia sampai stadium 1, praktis tidak ada keluhan yang dirasakan oleh penderita, namun menginjak stadium 1A-3B muncul keluhan, misalnya keluar darah sewaktu berhubungan seks.

Yang lebih parah lagi, pada stadium 4B, sel kanker biasanya sudah menjalar ke otak dan paru, sehingga nyawa penderita semakin sulit untuk diselamatkan.

Pemicu kanker rahim adalah virus human papilloma, yang muncul antara lain akibat perilaku sering berganti-ganti pasangan seks, sehingga menimbulkan penyakit kelamin.

sumber: Media Indonesia Online, 20 Juli 2006

PENDIDIKAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI BERBASIS SEKOLAH?

Perilaku remaja sekarang sudah amat mengkhawatirkan, hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya kasus-kasus seperti aborsi, kehamilan tidak diinginkan (KTD), dan infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS.

Kurang dari 111 juta kasus infeksi menular seksual diderita oleh kelompok usia di bawah 25 tahun (WHO/UNFPA/UNICEF,1999). Kaum muda dan remaja memang sangat berisiko tinggi terhadap IMS termasuk HIV/AIDS, karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS dan pencegahannya (Best, 2000, Mc Cauley and Salter, 1995; WHO/UNFPA/UNICEF, 1999). Setiap 5 menit remaja atau kaum muda di bawah usia 25 tahun terinfeksi HIV dan setiap menitnya 10 wanita usia 15-19 tahun melakukan aborsi tidak aman (Annual Report 2001, IPPF).

Hasil sebuah studi menyatakan bahwa lebih dari 500 juta usia 10-14 tahun hidup di negara berkembang, dan rata-rata pernah melakukan hubungan suami-isteri (intercourse) pertama kali di bawah usia 15 tahun (Sedlock, 2000; US Bureau of The Cencus, 1998). Kurang lebih 60% kehamilan yang terjadi pada remaja di negara berkembang adalah tidak dikehendaki (unwanted pregnancy) dan 15 juta remaja pernah melahirkan (UNFPA, 1997; Safemotherhood, Inter-Agency Group).

Di Indonesia kasus-kasus tersebut diperparah dengan kurang adanya komitmen dan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mengatur tentang pendidikan seksual dan reproduksi bagi remaja terutama di tiap sekolah, lemahnya kerjasama lintas sektor (depkes-depdiknas-depsos) dan kecenderungan menganggap LSM pesaing sekaligus musuh pemerintah menjadi hambatan penyelenggaraan program tersebut. Kita akui memang norma adat dan nilai budaya leluhur yang masih dianut sebagian besar masyarakat Indonesia juga menjadi tantangan terbesar dalam penyelenggaraan pendidikan seksual dan reproduksi berbasis sekolah. Semisal masih banyaknya pendapat, permasalahan seks itu tabu untuk dibicarakan kepada mereka yang belum menikah, dengan pendidikan seks justru akan meningkatkan kasus-kasus seperti kehamilan di luar nikah, aborsi, dan IMS termasuk HIV/AIDS.

Padahal berbicara seksual bukan sebatas intercourse tetapi banyak hal yang harus diketahui mulai dari organ kelamin, perihal kontrasepsi atau KB, sampai dengan bagaimana seorang wanita melahirkan?

Oleh karena itu, kaum muda atau remaja jangan lagi ditabukan dengan seks dan reproduksi, hal itu malah akan memancing rasa kepenasaran mereka yang berakhir pada perilaku seksual yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab.

Pendidikan seksual dan reproduksi yang berbasis sekolah mungkin merupakan cara yang efisien dalam menjangkau remaja dan keluarganya (Birdthistle and Vince-Whitmann, 1997).

Indonesia memang tidak mungkin dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan negara-negara Amerika dalam hal perkembangan teknologi dan informasi kesehatan termasuk kesehatan seksual dan reproduksi. Tetapi, jika yang menjadi kompetitornya adalah Malaysia yang sejak 1979 telah mendirikan Youth Advisory Center dan Filipina dengan Developing Programme and Life Education-nya, Kita masih amat tertinggal.

SIECUS (Sexuality Information and Education Council United States) menulis tentang materi pokok yang harus terdapat dalam pendidikan seksual dan reproduksi:
perkembangan manusia (anatomi dan fisiologi system reproduksi)
hubungan antar manusia (baik dengan keluarga, teman sejawat, dan pacaran dengan pernikahan)
kamampuan personal (nilai, pengambilan keputusan, komunikasi, dan negosiasi)
perilaku seksual (kontrasepsi, IMS, dan pencegahan HIV/AIDS serta aborsi maupun kejahatan atau pelecehan seksual)
budaya dan social (peran jender, agama, dan seksualitas).


Adapun komponen-komponen yang turut menentukan kesuksesan program pendidikan seksual dan reproduksi berbasis sekolah, yakni:
ketepatan identifikasi dan memahami karakter setiap kelompok
melibatkan remaja dalam perencanaan program
bekerjasama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan orang tua
komunikasi interpersonal
jejaring
sumber daya (baik sumber daya manusia dalam hal ini tenaga pengajar maupun sumber daya alamnya atau fasilitas yang tersedia).